Selasa, 18 Januari 2011

Fusi Nuklir, Teknologi Harapan?????????????

PEMBANGKIT listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan reaktor fusi yang lebih aman diperkirakan siap dikomersialkan tahun 2020-2050. Pemerintah Indonesia disarankan tak terburu-buru dan memaksakan pembangunan PLTN dengan reaktor fisi, karena lebih berbahaya.

“Jika tetap ingin membangun PLTN, sebaiknya menunggu teknologi baru dengan risiko lebih kecil,” kata anggota Dewan Energi Nasional (DEN) sekaligus guru besar Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Rinaldy Dalimi, Senin, 23 Agustus 2010.

Saat ini, semua PLTN memakai reaktor fisi berbahan bakar uranium. Limbah uranium menghasilkan radiasi yang berbahaya bagi manusia. Adapun reaktor fusi masih dalam penelitian. Reaktor berbahan baku air berat atau deuterium. Perkiraan operasional reaktor fusi beragam antara tahun 2020 dan 2050.
Saat ini beberapa negara pemilik PLTN berencana mengganti dengan reaktor fusi. Negara-negara besar membiayai penelitian untuk mewujudkan reaktor fusi.

Reaksi Fusi

Reaksi fusi merupakan reaksi penggabungan nukleida ringan menjadi bentuk lebih berat, yang membuat matahari dan bintang di alam semesta bersinar. Reaksi jenis itu hanya berlangsung jika temperatur, tekanan, dan kerapatan bahan bakar sangat tinggi.

Di dalam inti matahari, misalnya, temperatur 15-20 juta derajat Celsius, tekanan gravitasi sekitar seperempat triliun atmosfer, serta kerapatan delapan kali kerapatan emas, telah menjamin keberlangsungan fusi inti-inti hidrogen menjadi inti helium secara kontinu selama bermiliar tahun. Temperatur dan tekanan ekstrem itu diperlukan dalam reaksi fusi untuk mengatasi gaya tolak-menolak Coulomb akibat muatan proton yang menjadi luar biasa besar untuk jangkauan reaksi nuklir. Pada bintang-bintang lebih besar, temperatur, tekanan, dan kerapatannya dapat lebih besar lagi.

Tentu kondisi itu sulit dicapai di atas permukaan bumi sehingga proses lain harus dicari. Nukleida ringan yang memiliki energi ikat rendah cenderung berfusi menjadi nukleida yang lebih berat karena berenergi ikat lebih tinggi. Ketinggian energi ikat menggambarkan kestabilan nukleida. Sebaliknya, dengan alasan sama, nukleida berat (misalnya 239 Pu) cenderung membelah (fisi) menjadi nukleida yang lebih ringan.

Salah satu reaksi fusi yang saat ini serius dipertimbangkan adalah penggabungan nukleida deuterium (D) dan tritium (T). Reaksi DT itu berpeluang lebih besar ketimbang reaksi DD atau Da (a adalah nukleida helium). Selain itu, cadangan bahan bakar (D dan T) sangat berlimpah. Deuterium dapat diekstraksi dari air laut melalui metode elektrolisis. Setiap 1 m3 air laut mengandung 30 gr deuterium, sehingga jika seluruh listrik di muka bumi dibangkitkan oleh reaktor fusi, cadangan deuterium akan mencukupi kebutuhan lebih dari sejuta tahun.

Tritium tak tersedia secara alami, tetapi harus diproduksi (dibiakkan) dalam reaktor dengan litium. Litium adalah logam paling ringan yang cukup banyak ditemukan di kulit bumi serta dalam konsentrasi rendah di lautan. Cadangan litium yang diketahui hingga saat ini dapat mencukupi kebutuhan selama lebih dari 1.000 tahun. Litium akan dibuat menjadi selimut reaktor.

Reaksi fusi DT akan menghasilkan a dan neutron n. Neutron itu akan bergerak keluar plasma (atom-atom helium dan tritium yang telah kehilangan elektron akibat temperatur sangat tinggi) dan diserap selimut litium yang selanjutnya menghasilkan T dan a. Kedua jenis reaksi itu berlangsung bergantian menghasilkan energi yang dapat diserap dinding reaktor.

D + T —> a + n + energi
n + Li —> a + T + energi
Keunggulan lain reaktor fusi adalah nyaris tak ada sampah nuklir. Dari semua bahan bakar fusi, hanya tritium yang bersifat radioaktif dengan waktu paruh 12,5 tahun. Sampah radioaktif yang serius hanya material dinding reaktor; bersifat radioaktif karena dibombardemen partikel neutron. Namun radioaktivitas yang ditimbulkan akan ìcepat sekaliî; dalam kasus terburuk kurang dari 100 tahun. Bandingkan dengan sampah PLTN konvensional yang tetap radioaktif setelah jutaan tahun. Jadi sebagian besar sampah fusi dapat dikubur tak terlalu dalam dan relatif cepat diabaikan.

Selain itu, reaksi fusi secara inheren sangat aman. Kegagalan dalam bentuk apa pun akan cepat mengontaminasi plasma dalam reaktor yang memadamkan reaksi fusi. Tak ada reaksi berantai yang dapat berkembang secara eksponensial akibat kegagalan pengendalian titik kritis seperti pada reaktor fisi.

Jadi reaktor fusi merupakan pembangkit energi (listrik atau termal) impian masa depan. Sebab, dalam reaktor fusi tak dijumpai  emisi karbonmonoksida atau karbondioksida dan berdampak lingkungan jauh di ambang batas toleransi. Namun masih banyak kendala harus dihadapi para ilmuwan, sebelum dapat mengoperasikan reaktor fusi secara komersial.

Mengurung Plasma

Secara teoretis, di atas permukaan bumi sangat sulit memperoleh kondisi tekanan dan kerapatan ekstrem seperti dimiliki inti matahari.

Dengan kondisi ekstrem itu, reaksi fusi dapat menyala pada temperatur 10-15 juta derajat Celsius. Di sisi lain, reaktivitas proses fusi DT baru maksimal pada temperatur 100 juta derajat Celsius, hampir 10 kali lipat temperatur inti matahari. Pada temperatur itu, seluruh materi yang dikenal manusia di permukaan bumi cepat menguap. Jadi tak seperti reaktor konvensional dengan material reaktor dapat memiliki kontak langsung dengan bahan bakar, di sini plasma bahan bakar harus “diletakkan” di tengah reaktor.

Ada dua cara mengurung plasma sehingga tak bersentuhan dengan dinding reaktor. Pertama, mengeksploitasi inersia (massa) partikel. Pada metode itu bahan bakar fusi berbentuk pellet ditembaki dengan partikel berenergi tinggi atau dengan sinar laser dari segala arah. Pellet mengalami gelombang (tekanan) kejut ke arah dalam sehingga temperatur dan kerapatannya meningkat ke batas ekstrem.

Pada kondisi itu, reaksi fusi dapat menyala dan energi pembakaran termonuklir dilepas. Hasilnya berupa partikel a dan neutron bergerak ke arah dinding reaktor untuk penyerapan energi. Itulah metode inertial confinement.

Kedua, memanfaatkan muatan partikel. Partikel bermuatan listrik (dalam hal ini plasma) dapat dijaga agar mengorbit di satu lintasan di dalam reaktor dengan medan magnet superkuat yang dibangkitkan superkonduktor. Itulah metode magnetic confinement.

Karena bermuatan listrik positif, plasma dapat dipanaskan dengan mengalirkan arus listrik hingga 7 juta Ampere yang akan mendepositkan energi termal hingga beberapa megawatt (MW). Metode itu memiliki keterbatasan karena plasma dapat dipanaskan hingga suhu sekitar 10 juta derajat Celsius.

Untuk menaikkan suhu plasma ke tingkat lebih tinggi (100 juta derajat Celsius merupakan syarat minimal), harus memakai beberapa cara lain, misalnya menggunakan gelombang elektromagnetik mirip seperti pada oven microwave. Sekitar 10 MW energi termal dapat didepositkan dengan metode itu. Metode lain adalah mempercepat bahan bakar D dan T dengan beda potensial sekitar 140 kilovolt.

Partikel a yang dihasilkan dari fusi DT akan tetap berada dalam plasma, sedangkan energi kinetik yang dimiliki membantu menaikkan temperatur plasma. Jika energi seluruh a sudah cukup untuk mempertahankan temperatur plasma di sekitar 100 juta derajat Celsius, proses fusi dapat berlangsung tanpa pemanasan dari luar. Itu dinamakan kondisi penyalaan. Namun untuk tujuan komersial, reaktor fusi tak harus mencapai kondisi itu.

Jika reaktor fusi dioperasikan pada kondisi sebelum penyalaan, tentu butuh daya listrik eksternal sangat besar. Reaktor komersial harus memiliki daya asupan jauh lebih kecil ketimbang daya keluaran. Karena itu, didefinisikan faktor penguatan daya (Q) yang sebanding dengan rasio daya keluaran terhadap daya asupan.

Jika efisiensi konversi energi termal ke energi listrik sekitar 35%, sedangkan efisiensi pemanasan plasma dengan energi listrik 80%, efisiensi total sekitar 25%. Jadi Q > 4 adalah keharusan, namun untuk tujuan komersial Q yang sebesar-besarnya tentu yang diharapkan (diperkirakan 30-50).
Problem reaktor fusi sebenarnya mempertahankan proses reaksi fusi yang butuh kondisi sangat spesial. Padahal, kondisi itu sangat mudah berubah. (51)

0 komentar:

Posting Komentar